Pages

priBotTab2

Sabtu, 07 Januari 2012

Pernikahan Itu ...

 Saya belajar, bahwa pernikahan bukan kompetisi, tetapi kesediaan untuk berbagi. Bahwa selain keimanan; equality, kesetaraan, atau kafa'ah pasangan di dalam pernikahan tidak bisa diperhitungkan dengan rumus mana pun. Ia mutlak rahasia Allah Swt.
----
Adik-adik saya yang semua laki-laki itu, bertanya, setengah memprotes, kepada suami, "Kenapa status relationship-nya it's complicated?"
"Lha, saya pengennya memilih yang married to, tapi Mbaknya nggak mau,' jawab suami. "Jalan tengahnya, ya saya pilih it's complicated soalnya sudah bukan single lagi..."
Beberapa teman suami yang meng-add saya sebagai teman barunya juga bertanya, "Lho, ternyata Mbak Fira ndak mutual friend dengan suaminya, toh?"
Ya memang tidak.
Mengapa tidak?
Begini ceritanya...

Setelah menikah dan tinggal jauh dari tanah air, teman-teman baru di negeri Paman Sam dan Ratu Elizabeth kerap  menanyakan pendidikan terakhir saya. Hal wajar yang dialami pengantin baru mana pun.
Biasanya saya ditanya, "Dulu kuliahnya di mana? Jurusan apa? Angkatan berapa?"
"Saya di Kedokteran Umum, Unibraw, Bu, Mbak. Masuk tahun '97..."

Ketika ketemu lagi dengan orang yang sama, beberapa bertanya lagi, "Mbak Fira dulu FK-nya di Unpad atau di UI?"
Lha, khan sudah dibilang kalau bukan keduanya...
"Oh, saya kira Mbak alumni Unpad atau UI," biasanya begitu lanjutannya dialognya...

Ketika yang memberikan pilihan Unpad atau UI hanya 2-3 orang, saya masih memaklumi. Tapi ketika sudah lebih dari 5 orang, saya jadi rendah diri alias minder.
Iya, jangan-jangan suami saya salah milih orang untuk jadi isterinya. ITB gudangnya perempuan cerdas. Tidak ada yang meragukan kemolekan mahasiswi-mahasiswi Bandung termasuk yang di Unpad. Bandung, gitu, lho, pusat modenya Indonesia yang sering dijuluki Paris van Java.

Ditambah lagi kalau dihitung setelah kami lulus strata 1. Sepanjang menempuh pendidikan pascasarjana di Eropa sampai post-doc di AS, suami banyak berinteraksi dengan mbak-mbak pintar yang sama-sama berstatus post-graduate students. Baik yang WNI maupun WNA. Belum lagi aktivitasnya di dunia sastra dan Forum Lingkar Pena yang membuatnya kebanjiran surat dari gadis-gadis se-Indonesia, -tidak termasuk saya-, lantaran profilnya dimuat majalah remaja Islam Annida.

Sementara saya?
Saya tidak cantik. Saya tidak menarik. Saya tidak pandai secara akademis. Saya tidak menulis puisi. Saya tidak mengarang cerpen. Kalau suami mengatakan sebuah novel bernilai sastra, atau sebuah paper penelitian itu bagus, saya tidak tahu kenapa. Saya bukan juara kelas. Saya bukan aktivis di kampus. Saya tidak pintar bicara, mahir pidato dan berceramah, seperti perempuan-perempuan yang dikagumi suami saya. Saya juga tidak feminin dan gemulai seperti akhwat pujaan ikhwan pada umumnya.

Jadi mengapa suami menikahi saya?
"Ya karena alasan yang sudah kamu sebutkan sebelumnya," komentar suami santai ketika saya bertanya.
"Maksudnya aku dinikahi karena tidak cantik, alias jelek?"
"Betul."
"Karena tidak pintar, alias bodoh?"
"Tepat sekali."
"Karena secara finansial tidak mandiri, alias mengemis terus sama kamu?"
"Salah satunya."
"Karena kurang baik agamanya?"
"Tidak bisa lebih setuju lagi."

Ringkasnya, di mata suami, saya memang biasa-biasa saja. Saya menghargai kejujurannya. Meski merasa kadang harus bersabar dengan bisik-bisik di belakang semacam, "Suaminya begitu, lha kok isterinya njomplang banget?"
Atau, "Istrinya biasa-biasa saja, kok mau ya jadi suaminya?"

Empat tahun terakhir, saya sudah melupakan pertanyaan mengapa suami memilih saya sebagai isterinya. Tetapi Allah Swt yang Maha Baik seolah mengirimkan jawabannya. Damarsajjad Fahdiy (3,5 tahun), sejak bayi adalah anak yang bagi saya sangat sulit diasuh. Ia sangat peka, sangat sensitif, sangat mudah terganggu suasana hatinya, cenderung penakut, tidak mudah bergaul dengan orang asing, tidak mudah beradaptasi dengan hal-hal/suasana/lingkungan baru, lebih senang bermain sendiri atau dengan teman yang lebih dewasa, dan kelihatannya selalu serius.

Belakangan saya menyadari, kalau watak Si Sulung itu mirip dengan ayahnya. Psikolog Florence Littauer, di dalam bukunya Personality Plus, menggolongkan orang-orang seperti Si Sulung dan ayahnya sebagai orang berwatak dominan melankolis. Umumnya, mereka (bisa terlalu) sensitif, artistik, perfeksionis, pemikir yang mendalam, detil, tertata/terjadwal, rewel untuk hal-hal yang menurut pandangan umum kurang penting (fussy), dan dengan sendirinya menjadikan orang-orang ini sebagai orang yang memiliki kecenderungan introvert, penyendiri, pelamun/pengkhayal, pemurung, berpikiran negatif (mudah cemas, pesimis), gampang depresi, lebih senang berada di belakang layar, dan tidak menyukai popularitas.

Maka, bila Anda menginginkan bangunan rumahtangga yang luput dari sorotan publik dan jauh dari popularitas, apa yang akan Anda lakukan? Bisa jadi salah satunya adalah memilih pendamping hidup yang tidak populer. Pendamping hidup yang secara umum tidak mempunyai keistimewaan. Yang tidak memiliki kelebihan menonjol. Yang invisible. Yang tanpa kesulitan meloloskan diri dari pantauan detektor, CCTV, dan pemburu berita manapun. Pendeknya, memilih orang yang biasa-biasa saja dan yang bukan siapa-siapa untuk dinikahi.

Hari ini genap 5 tahun saya menikah. Apa yang sudah saya dapatkan?
Tentu saja banyak. Di antaranya, saya belajar, tidak ada yang salah dengan menjadi orang bodoh. Yang salah adalah ketika merasa sudah pintar.
Saya belajar, bahwa pernikahan bukan kompetisi, tetapi kesediaan untuk berbagi. Bahwa selain keimanan; equality, kesetaraan, atau kafa'ah pasangan di dalam pernikahan tidak bisa diperhitungkan dengan rumus mana pun. Ia mutlak rahasia Allah Swt.

Saya belajar, bahwa saya tidak menikah dengan malaikat atau pun dengan monster. Tetapi dengan manusia, yang memiliki kelebihan yang harus saya hargai, dan kekurangan yang harus saya maklumi. Saya belajar, di dalam pernikahan; kompromi, toleransi, frustrasi, dan imajinasi, bukanlah untuk ditakuti. Melainkan untuk dihadapi, dijalani, dicarikan solusi. Saya belajar, bila saya tidak mendapatkan yang saya inginkan, tak selalu itu berarti kekalahan. Bisa jadi itu adalah kemenangan bersama.

Yang paling mendasar adalah, saya belajar, bahwa pernikahan tidak hanya memerlukan kesungguhan, keberanian, dan ketabahan. Tetapi juga membutuhkan cinta, ketulusan, dan pengorbanan, sebagaimana tanaman memerlukan air, udara, dan cahaya matahari.

Nottingham, 3-1-2012 (Nursima Fira, FB)

0 komentar

Posting Komentar