“Saya tertarik tawaran mengikuti
promosi pekerjaan itu”, paparnya.
Suaranya terdengar antusias. “Kesempatan yang
bagus, pengalaman baru, tempatnya masih asri meskipun terpencil”. “Dan gajinya
lumayan, lima juta rupiah sebulan, semua kebutuhan ditanggung oleh perusahaan”,
urainya.
Tanpa melihat wajahnya pun,aku
tau senyum optimis sedang mengembang di wajahnya. Ada getaran aneh berdesir di
hatiku. Perasaan tidak enak. “Ya, apalagi dengan syarat harus lulus kuliah
terlebih dahulu dan tidak boleh menikah selama 2 tahun”, sambar kakakku.
Jleg! Jantungku seakan berdetak
satu kali. Tidak boleh menikah?, Bagus..lanjutkan saja!. Rasanya ingin
kulemparkan teko di hadapanku ini, tepat di wajahnya. “Lalu?” kuberanikan diri
bertanya. Lirih, pelan, aku bahkan tak yakin dia bisa mendengarnya.
“Ya, saya tertarik!”, katanya
lugas.
Bibirku urung mengucap, sebuah
kata tanya berhenti di pangkal tenggorokanku. Lalu, bagaimana dengan kita?,
batinku.
“Kamu mau menunggu dia selama 2
tahun?”, tanya kakakku.
Hening, aku cuma punya itu. Aku
benci menunggu Kak, engkau tau itu. Lupakah engkau, setiap pulang sekolah dulu
aku selalu memarahimu jika terlambat menjemputku. Menunggu selalu membuatku tak sabar. Ibu bahkan pernah marah besar padaku,
hanya karena aku nekat mengambil jalan pulang sendiri dari pasar menuju rumah.
Hanya karena ibu terlambat datang menjemputku di toko obat. Hanya 5 menit, aku
sudah bosan. Aku pikir ibu keasyikan belanja, melupakanku dan pulang duluan. Sebuah
pikiran konyol yang sukses membuat seisi pasar panik, bocah 10 tahun hilang
tanpa jejak. Bagiku waktu itu penting, dan datang tepat waktu itu kewajiban. Semua
sahabatku tahu bagaimana kerasnya aku terhadap waktu. Mereka yang terlambat
berurusan denganku, akan berhadapan dengan dua pilihan sulit : ditinggal atau
dimarahi habis-habisan. Miss Intime, kata mereka. Cuaca seekstrim apapun belum
pernah berhasil membuatku menunggu. Ayah kita orang militer, kak. Dan ayah
selalu bilang, menunggu itu perbuatan sia-sia dan pantang bagi kita membuat
orang lain menunggu. Dan malam ini, engkau menanyakan padaku tentang itu?. Gosh, memikirkannya saja, aku sudah
mual.
“Hei!”. Tiba-tiba saja wajah menggoda
kakakku, membuyarkan semua. “Oh”. Hanya kata itu yang terucap. Entah apa warna
wajahku saat ini.
“Kamu, tau ...?”, kata kakakku dengan suara bassnya.
“Adikku ini paling tidak suka
menunggu”.
“Jadi, kamu tak kan membiarkan
dia menunggu, kan?”.
Suasana kembali hening. Entah
perasaanku saja atau suara jangkrik di rumah tetangga itu semakin nyaring saja.
Engkau masih diam. Pandanganku terpaku pada kaki meja. Aku enggan menatap
wajahmu sekarang, sungguh.
“Saya tertarik, tapi bukan
berarti saya akan mengambilnya, Kak”, jawabmu kemudian.
“Jadi, apakah niat baik untuk
menikah akan tetap dilanjutkan?”
Aku selalu suka caramu menjagaku
kak, pujiku tulus, dalam hati tentu saja. Tidak sepertiku yang sering susah
mengutarakan maksud hati. Engkau tidak pernah sungkan mengutarakan kebenaran,
demi sebuah kepastian.
“Insya Allah tidak, Mas!. Saya
tetap akan melanjutkan proses ini”
Terdengar mantap. Tapi masih
belum bisa membuang batu besar yang menyesakkan dadaku saat ini. Aku tau kamu,
Dri. Aku mengenalmu, lama. Optimis, jiwa petualang, pembelajar setia, idealis.
Darah muda, bahkan terkadang aku menyebutmu begitu. Karena keberanianmu yang
terlalu besar terhadap resiko. Dan semua orang mengenalmu sebagai pribadi yang
selalu pantang menyerah, mampu sabar berjuang, mengubah resiko menjadi prestasi.
“Sebenarnya... peluang untuk tetap mengambil pekerjaan itu, walau telah berstatus menikah itu masih tetap ada, Mas”, lanjutmu kemudian.
Tuh, kan, engkau masih belum
menyerah. Aku kenal kamu, Dri. Peluang sebagus itu tak akan kau buang percuma kan?. Jiwa sok tauku mulai muncul. Pelan, kakiku mulai
bergoyang-goyang tanda tak sabar. Sebenarnya orang ini niat membangun setengah agama denganku, atau membangun karier sih?. Huh, kalau tidak ingat umur, mungkin sudah
kubiarkan saja, air mata kekesalan
mengalir. Astaghfirullah.. La taghdob..la taghdob.. Pandanganku berubah, dari kaki meja, menuju wajah kakak. Selalu ada pembelaan
dan kesejukan kutemukan disana. Yang dipandang, malah hanya manggut-manggut
sambil tersenyum simpul.
“Kalau memang ada peluang itu,
cobalah. Tapi satu hal. Kami, terutama adikku tak suka menunggu. Jika niat kita
memang baik, janganlah ditunda. Meskipun untuk alasan penghasilan sekalipun.
Andri tentu lebih tau. Kami tidak ingin memberatkan. Diputuskan saja, mau
dilanjutkan atau tidak. Apapun jawabannya, kami siap saja dan hubungan
silaturahim tetap dijaga, insya Allah. Istikharahlah, kami tunggu jawabannya 2
hari lagi”, kata kakak.
“Insya Allah, mas. Terimakasih
pengertiannya. Kalau begitu saya pamit dulu”
“Ya, hati-hati!”, suara kakak
masih saja terdengar ramah. Aku heran.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam..”
Aku hanya diam menatap punggung dua laki-laki kesayanganku itu. Eh, dua
laki-laki? Astaghfirullah. Ya Allah, belum pantas aku menyebutmu seperti itu,
Dri..
Wajah sumringah muncul dari balik
pintu, menguncinya, lalu berjalan tenang menujuku.
“Adik kakak, ngambek?” Dengan
senyumnya yang khas, sembari mengacak jilbabku. Melelehlah air mata yang sedari
tadi kutahan.
“Aish, bikin malu…”, selorohnya.
Ditatapnya mataku tulus, “Kalau
dia jodohmu, De. Dia pasti kembali. Lagipula, dia belum jadi siapa-siapamu kan,
De?” bujuknya.
“Kamu benar-benar menyukainya,
ya?” godanya.
Suka, astaghfirullah, tidak juga sih. Aku mengenalnya sudah lama Kak.
Bahkan sebelum proses ini. Tanpa kujelaskan harusnya juga kamu tau. Kamu
kakakku, selisih 2 menit saja kita dilahirkan.
“Bukan karena itu..”
“Iya, aku tau”
“Hmm.. Aku hanya….”
“Kesal, karena tiba-tiba ada opsi
“menunggu”?”
“…Iya”
“Kamu mau bilang kalau dia belum
siap komitmen, kan?”
“…Iya”
“Sok tau..!”
“..Habisnya…Dia bilang…”
“Aku tau kamu, De”, gemas,
dicubitnya kedua pipiku. Sakit.
“Kebiasaan buruk, terlalu mudah
mencap orang seperti itu..tidak baik!”
“Aku…”
“Dia kan hanya bilang, kalau
tertarik dengan peluang itu. Lalu?”
“Ya..”
“De!”
“Niat menikah karena apa?”
“Allah..”
“Menjaga kesucian!. Opsi kita
sudah jelas De!. Sekarang biarkan dia yang memutuskan. Istikharah. Ade juga
istikharah!. Ya?”
“Aku tidak suka menunggu kak, aku
tidak suka ketika ada peluang kebaikan yang ditunda..”
“Iya..kakak tau..Tapi, jangan
lupa ya. Tergesa-tergesa itu temannya siapa?”
“Setan..” , jawabku persis
seperti anak TK yang ditanya wali kelasnya.
“Kakak tidak bisa menjaga kamu
terus. Berlatihlah untuk tidak gampang ngambek seperti ini. Kamu akan menikah.
Siapkan dirimu! Tidak ada istri shalehah yang cengeng. Apa salahnya menunggu?
Bersabarlah, seringkali.. itu dibutuhkan!. Menikah itu membutuhkan mental yang
kuat lho!. Lagipula, dengan siapapun menikah bukan masalah kan? Selama
fikrohnya sama dengan kita,ada kecocokan. Kakak juga tau, kamu tak pernah
membiarkan simpati itu tumbuh terhadap laki-laki manapun. Bahkan termasuk dengan
Andri. Ya kan?. Dan sekarang, dialah yang
dipilih Allah untuk berproses denganmu. Padahal kamu mengenalnya
jauh sebelum ini kan?”
Aku mengangguk.
“Istikharah ya! Jangan Galau..”
“God Always Listening Always
Understanding, kak”, jawabku asal
“Nah itu tau.. Ya sudah masak
nasi sana, buat sahur. Besok puasa kan?”
“Ya”, balasku dengan senyuman.
Meski batu besar itu masih sedikit mengganjal. Kakak benar, itu kan gunanya
istikharah…
====
@baitijannati