Pages

priBotTab2

Sabtu, 20 Oktober 2012

Refleksi Perjusami (Lagi)

09.00 pm.
A Wonderful Saturday Night..
Beratapkan langit, bercahayakan api unggun. Menatap bulan-Nya, bintang-Nya, dan menikmati kemilau cahaya mereka. Namun, indahnya bulan tak mampu menyaingi pesona api unggun. Walau panas, kobaran apinya tetap menjadi pusat kerumunan malam itu.  Semakin dekat engkau dengan cahaya, maka kemilaulah wajahmu karenanya. Tak sedikit diantara mereka yang lebih suka merelakan wajah-wajahnya gelap tanpa cahaya, hanya suara riuh, yel-yel, dan tepuk tangan yang silih berganti. Dan aku pun menikmati iramanya :  dalam ramai, dalam sepi. Alam pun bernyanyi, tentu dengan dengan irama mereka sendiri.

Bukankah da'i itu seharusnya seperti itu? Seperti api unggun yang memancarkan cahaya, sehingga banyak yang ingin mendekat kepadanya. Ada manfaat, yang umat rasakan karena keberadaannya. Dan jiwa mukmin yang bercahaya itu, akan memberi cahaya bagi siapa saja yang mendekatinya. Meski tak sedikit, banyak juga yang enggan mendekatinya. Mereka lebih suka, saling memandang dalam kegelapan, menikmati pandangan di kala malam yang terbatas. Ya mereka enggan mendekatinya. Lalu, kemudian apakah api unggun itu marah, kemudian meninggalkan mereka? Tidak. Atau mungkin dia lebih memilih menyerah dan memadamkan dirinya sendiri karena ketidak acuhan mereka? Tidak. Tetap saja ia berkobar hangat. Sehangat semangat perbaikan yang harus senantiasa berkobar, minimal di hati kita sendiri. Hati seorang yang mengaku dirinya : muslim, mukmin dan da'i.

11.30 pm.
Menikmati malam minggu di alam terbuka. Tanpa kasur empuk, listrik, dan komputer. Menyenangkan, sejenak memberikan penyegaran yang sangat baik bagi jiwa. Ada saat-saat menakjubkan ketika berbincang denganNya dan ciptaanNya. Langit, yang dikatakan dibangun dalam tujuh lapisan. Dia seakan berbicara tentang cita-cita dan mimpi kita yang besar, menjulang hingga angkasa, Tentang doa-doa panjang yang naik ke atas, entah sekarang sudah sampai dimana. Tentang kesulitan-kesulitan yang Allah janji pasti ada solusinya. Tentang masa depan yang tidak bisa kita baca. Ada optimis, rindu, semangat, cinta dan sedikit rasa takut. Masa depan yang misterius, tetapi pastilah kelak akan menjadi masa terbaik untuk kita. Yakin. Berpikir cemerlang, seperti cemerlangnya cahaya bulan. Hampir sempurna. Meski sering kita lupa bukan bulanlah sumber cahaya sesungguhnya, walau kecantikannya senantiasa dipuja. Bulan hanya memantulkan cahaya dari bintang. Tanpa bintang, bulan hanya sebuah benda planet yang tidak dapat memancarkan cahayanya sendiri. Serasa belajar IPA, SMA kelas 2.

Kita pun sama seperti bulan, hanya seorang hamba, seorang abdi, seorang jundi, seorang khalifah yang beruntung Allah telah berkehendak memancarkan cahaya itu pada hati-hati kita. Dalam setiap kebaikan yang kita lakukan, sebenarnya hanya akibat dari pancaran kebaikan yang ALLAH telah berikan kepada kita. Sifat ramah, suka menolong, lembut, penyayang, pengasih. murah hati, itu semua sudah terangkum dalam 99 namaNya yang agung. Kita hanya kecipratan saja. Karena tak perlu bangga dengan kebaikan yang engkau punya, ia sebenarnya hanya rejeki lain yang Allah berikan kepada hambaNya. Kebaikan, sekecil atau sebesar apapun, bukan kita 100 % yang mengusahakannya, selalu ada bagian takdir dan kehendakNya dalam setiap segmen kehidupan kita. Selalu. Tak lalai sedetik pun. Usah berbangga karena amalmu, yang kata manusia : banyak. Jangan sampai kesombongan dan kebahagiaan menjadi titik nadirmu yang tak kunjung usai. 

*qurrota a'yun
original mind

0 komentar

Posting Komentar