Pages

priBotTab2

Kamis, 04 Oktober 2012

Cerpen : Menunggu


“Saya tertarik tawaran mengikuti promosi pekerjaan itu”, paparnya. 
Suaranya terdengar antusias. “Kesempatan yang bagus, pengalaman baru, tempatnya masih asri meskipun terpencil”. “Dan gajinya lumayan, lima juta rupiah sebulan, semua kebutuhan ditanggung oleh perusahaan”, urainya.
Tanpa melihat wajahnya pun,aku tau senyum optimis sedang mengembang di wajahnya. Ada getaran aneh berdesir di hatiku. Perasaan tidak enak. “Ya, apalagi dengan syarat harus lulus kuliah terlebih dahulu dan tidak boleh menikah selama 2 tahun”, sambar kakakku.
Jleg! Jantungku seakan berdetak satu kali. Tidak boleh menikah?, Bagus..lanjutkan saja!. Rasanya ingin kulemparkan teko di hadapanku ini, tepat di wajahnya. “Lalu?” kuberanikan diri bertanya. Lirih, pelan, aku bahkan tak yakin dia bisa mendengarnya.
“Ya, saya tertarik!”, katanya lugas.
Bibirku urung mengucap, sebuah kata tanya berhenti di pangkal tenggorokanku. Lalu, bagaimana dengan kita?, batinku.
“Kamu mau menunggu dia selama 2 tahun?”, tanya kakakku.
Hening, aku cuma punya itu. Aku benci menunggu Kak, engkau tau itu. Lupakah engkau, setiap pulang sekolah dulu aku selalu memarahimu jika terlambat menjemputku. Menunggu selalu membuatku tak sabar.  Ibu bahkan pernah marah besar padaku, hanya karena aku nekat mengambil jalan pulang sendiri dari pasar menuju rumah. Hanya karena ibu terlambat datang menjemputku di toko obat. Hanya 5 menit, aku sudah bosan. Aku pikir ibu keasyikan belanja, melupakanku dan pulang duluan. Sebuah pikiran konyol yang sukses membuat seisi pasar panik, bocah 10 tahun hilang tanpa jejak. Bagiku waktu itu penting, dan datang tepat waktu itu kewajiban. Semua sahabatku tahu bagaimana kerasnya aku terhadap waktu. Mereka yang terlambat berurusan denganku, akan berhadapan dengan dua pilihan sulit : ditinggal atau dimarahi habis-habisan. Miss Intime, kata mereka. Cuaca seekstrim apapun belum pernah berhasil membuatku menunggu. Ayah kita orang militer, kak. Dan ayah selalu bilang, menunggu itu perbuatan sia-sia dan pantang bagi kita membuat orang lain menunggu. Dan malam ini, engkau menanyakan padaku tentang itu?. Gosh, memikirkannya saja, aku sudah mual.
“Hei!”. Tiba-tiba saja wajah menggoda kakakku, membuyarkan semua. “Oh”. Hanya kata itu yang terucap. Entah apa warna wajahku saat ini.
“Kamu, tau ...?”, kata kakakku dengan suara bassnya.
“Adikku ini paling tidak suka menunggu”.
“Jadi, kamu tak kan membiarkan dia menunggu, kan?”.
Suasana kembali hening. Entah perasaanku saja atau suara jangkrik di rumah tetangga itu semakin nyaring saja. Engkau masih diam. Pandanganku terpaku pada kaki meja. Aku enggan menatap wajahmu sekarang, sungguh.
“Saya tertarik, tapi bukan berarti saya akan mengambilnya, Kak”, jawabmu kemudian.
“Jadi, apakah niat baik untuk menikah akan tetap dilanjutkan?”
Aku selalu suka caramu menjagaku kak, pujiku tulus, dalam hati tentu saja. Tidak sepertiku yang sering susah mengutarakan maksud hati. Engkau tidak pernah sungkan mengutarakan kebenaran, demi sebuah kepastian.
Insya Allah tidak, Mas!. Saya tetap akan melanjutkan proses ini”
Terdengar mantap. Tapi masih belum bisa membuang batu besar yang menyesakkan dadaku saat ini. Aku tau kamu, Dri. Aku mengenalmu, lama. Optimis, jiwa petualang, pembelajar setia, idealis. Darah muda, bahkan terkadang aku menyebutmu begitu. Karena keberanianmu yang terlalu besar terhadap resiko. Dan semua orang mengenalmu sebagai pribadi yang selalu pantang menyerah, mampu sabar berjuang,  mengubah resiko menjadi prestasi.
“Sebenarnya... peluang untuk tetap mengambil pekerjaan itu, walau telah berstatus menikah itu masih tetap ada, Mas”, lanjutmu kemudian.
Tuh, kan, engkau masih belum menyerah. Aku kenal kamu, Dri. Peluang sebagus itu tak akan kau buang percuma kan?. Jiwa sok tauku mulai muncul. Pelan, kakiku mulai bergoyang-goyang tanda tak sabar. Sebenarnya orang ini niat membangun setengah agama denganku, atau membangun karier sih?. Huh, kalau tidak ingat umur, mungkin sudah kubiarkan saja, air mata  kekesalan mengalir. Astaghfirullah.. La taghdob..la taghdob.. Pandanganku berubah, dari kaki meja, menuju wajah kakak. Selalu ada pembelaan dan kesejukan kutemukan disana. Yang dipandang, malah hanya manggut-manggut sambil tersenyum simpul.
“Kalau memang ada peluang itu, cobalah. Tapi satu hal. Kami, terutama adikku tak suka menunggu. Jika niat kita memang baik, janganlah ditunda. Meskipun untuk alasan penghasilan sekalipun. Andri tentu lebih tau. Kami tidak ingin memberatkan. Diputuskan saja, mau dilanjutkan atau tidak. Apapun jawabannya, kami siap saja dan hubungan silaturahim tetap dijaga, insya Allah. Istikharahlah, kami tunggu jawabannya 2 hari lagi”, kata kakak.
Insya Allah, mas. Terimakasih pengertiannya. Kalau begitu saya pamit dulu”
“Ya, hati-hati!”, suara kakak masih saja terdengar ramah. Aku heran.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam..”
Aku hanya diam menatap punggung dua laki-laki kesayanganku itu. Eh, dua laki-laki? Astaghfirullah. Ya Allah, belum pantas aku menyebutmu seperti itu, Dri..
Wajah sumringah muncul dari balik pintu, menguncinya, lalu berjalan tenang menujuku.
“Adik kakak, ngambek?” Dengan senyumnya yang khas, sembari mengacak jilbabku. Melelehlah air mata yang sedari tadi kutahan.
“Aish, bikin malu…”, selorohnya.
Ditatapnya mataku tulus, “Kalau dia jodohmu, De. Dia pasti kembali. Lagipula, dia belum jadi siapa-siapamu kan, De?” bujuknya.
“Kamu benar-benar menyukainya, ya?” godanya.
Suka, astaghfirullah, tidak juga sih. Aku mengenalnya sudah lama Kak. Bahkan sebelum proses ini. Tanpa kujelaskan harusnya juga kamu tau. Kamu kakakku, selisih 2 menit saja kita dilahirkan.
“Bukan karena itu..”
“Iya, aku tau”
“Hmm.. Aku hanya….”
“Kesal, karena tiba-tiba ada opsi “menunggu”?”
“…Iya”
“Kamu mau bilang kalau dia belum siap komitmen, kan?”
“…Iya”
“Sok tau..!”
“..Habisnya…Dia bilang…”
“Aku tau kamu, De”, gemas, dicubitnya kedua pipiku. Sakit.
“Kebiasaan buruk, terlalu mudah mencap orang seperti itu..tidak baik!”
“Aku…”
“Dia kan hanya bilang, kalau tertarik dengan  peluang itu. Lalu?”
“Ya..”
“De!”
“Niat menikah karena apa?”
“Allah..”
“Menjaga kesucian!. Opsi kita sudah jelas De!. Sekarang biarkan dia yang memutuskan. Istikharah. Ade juga istikharah!. Ya?”
“Aku tidak suka menunggu kak, aku tidak suka ketika ada peluang kebaikan yang ditunda..”
“Iya..kakak tau..Tapi, jangan lupa ya. Tergesa-tergesa itu temannya siapa?”
“Setan..” , jawabku persis seperti anak TK yang ditanya wali kelasnya.
“Kakak tidak bisa menjaga kamu terus. Berlatihlah untuk tidak gampang ngambek seperti ini. Kamu akan menikah. Siapkan dirimu! Tidak ada istri shalehah yang cengeng. Apa salahnya menunggu? Bersabarlah, seringkali.. itu dibutuhkan!. Menikah itu membutuhkan mental yang kuat lho!. Lagipula, dengan siapapun menikah bukan masalah kan? Selama fikrohnya sama dengan kita,ada kecocokan. Kakak juga tau, kamu tak pernah membiarkan simpati itu tumbuh terhadap laki-laki manapun. Bahkan termasuk dengan Andri. Ya kan?. Dan sekarangdialah yang dipilih Allah untuk berproses denganmu. Padahal kamu  mengenalnya jauh sebelum ini kan?”
Aku mengangguk.
“Istikharah ya! Jangan Galau..”
God Always Listening Always Understanding, kak”, jawabku asal
“Nah itu tau.. Ya sudah masak nasi sana, buat sahur. Besok puasa kan?”
“Ya”, balasku dengan senyuman. Meski batu besar itu masih sedikit mengganjal. Kakak benar, itu kan gunanya istikharah…

====
@baitijannati

0 komentar

Posting Komentar